Sabtu, 26 November 2016

Saparan bekakak, tradisi penyembelihan pengantin


Saparan Bekakak adalah sebuah acara berupa kirab budaya yang rutin diselenggarakan setiap tahun oleh masyarakat di Ambarketawang, Gamping, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sesuai namanya sapar (syafar) acara ini dilakukan tiap bulan sapar.

Pelaksanaan Saparan Bekakak ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu midodareni pengantin bekakak, kirab bekakak, penyembelihan pengantin bekakak, dan sugengan ageng. Pembuatan pengantin bekakak dilakukan dua hari sebelum acara. Wanita menyiapkan bahan-bahan mentah dan pria membuat boneka pengantin dari tepung ketan dan cairan gula jawa yang dibuat semirip mungkin dengan manusia.

Pada saat upacara, pengantin bekakak diarak menuju Gunung Gamping untuk disembelih di sana. Kemudian melakukan penyebaran gunungan dan potongan tubuh bekakak. Satu hal yang unik adalah adanya sekelompok anak-anak berjumlah 50 orang yang berperan sebagai anak genderuwo pada upacara ini. Anak-anak tersebut menjadi simbol dedemit yang sedang bersukaria mendapat korban sepasang pengantin.

Dikisahkan bahwa setelah Keraton Yogyakarta selesai dibangun, maka Sri Sultan Hamengkubuwono I dan keluarga pindah ke Keraton. Mereka sebelumnya tinggal sementara di sebuah pesanggrahan di Ambarketawang, Gamping. Abdi dalem yang melayani beliau selama di Ambarketawang Gamping yaitu Ki dan Nyai Wirosuto memohon ijin untuk tetap tinggal di sana karena ingin merawat kediaman Sultan di Ambarketawang dan merawat binatang- binatang peliharaan mereka yang sudah banyak.

Pada suatu saat di bulan sapar, terjadilah longsor di Gunung Gamping yang berdekatan dengan tempat tinggal mereka. Peristiwa ini mengakibatkan keduanya meninggal. Dan kejadian ini terulang lagi pada tahun berikutnya dengan banyak korban jiwa.
Bencana terus berulang setiap tahun sehingga Sultan HB I memutuskan untuk bertapa di Gunung Gamping dan berdialog dengan makhluk penunggu di sana.
Dari hasil bertapa tersebut, maka sang penunggu gunung meminta Sultan untuk membuat upacara pengorbanan sepasang pengantin agar bencana tersebut tidak terjadi lagi. Sultan pun menyanggupinya. Akan tetapi yang dilakukan adalah mengelabuhi penunggu gunung dengan membuat sepasang pengantin tiruan dari tepung ketan dan cairan gula jawa yang dibuat semirip mungkin dengan manusia. Hal ini ternyata berhasil dan bencana longsor sudah tidak terjadi lagi.
Karena inilah maka kemudian upacara ini selalu di adakan setiap tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar