Senin, 30 Maret 2015

Bocah bajang

"Ana titah awujud bocah bajang sakembaran, Gombak kalawan kuncung. Kang satunggal asenjata sada lanang  karsanira anyaponi jagat, sajuga anyangking bathok bolu, sanggupira arsa nawu sagara. Kekarone papagan ing dlanggung prapatan, sulayaning rembag dadya pancakara. dreg-udregan rebut bener, rebut unggul,"

Translate
Ada mahluk berwujud anak bajang (kecil/cebol) seperti kembar, satu berambut berombak satu berambut kuncung.
Yang satu membawa sada lanang (lidi yang hanya 1 buah) bermaksud menyapu dan membersihkan dunia. Yang satu bersenjatakan batok bolu (tempurung kelapa yang berlubang) bermaksud hendak menguras samudra.
Keduanya bertemu di perempatan, tidak bertemunya pendapat mengakibatkan pertengkaran, merasa paling benar dan paling unggul.

Itu sekilas percakapan dalam wayang kulit dalam adegan goro2. Bisa dibayangkan kesaktian dua anak kecil ini. Yang bersenjata lidi bermaksud membersihkan bumi melawan anak yang membawa tempurung kelapa yang bermaksud menguras laut.

Pertengkaran ini menyebabkan goncangnya dunia dan menjadi goro-goro.Loh masa dua anak kecil berkelahi bisa menjadi goro-goro? Anak kecilnya temannya sejagad yang ikut berantem.
Dahulu kegoncangan itu berhasil di atasi dengan sesanti
*bhineka tunggal ika, tan hana darma mangwa*
berbeda tetapi sebenarnya satu karena tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Apakah sesanti ini masih ampuh saat ini? Saat sekelompok orang atas nama kebenaran justru membuat kekacauan?
Jadi apakah kedamaian yang ditawarkan jika perbuatannya justru membuat kerancuan istilah kedamaian dan kebenaran itu sendiri?

Itulah gambaran anak2 kecil yang picik pikirannya, merasa bisa menguras laut, merasa bisa menggiring angin dan
menyapu dunia dengan senjata dan ilmu mereka, ilmu seorang anak2.

Berlanjut dengan munculnya para panakawan. Artinya dagelan. Bagaimana bukan dagelan, jika kita melihat anak-anak seperti ini yang mau menggiring angin dan menguras laut dengan senjata dan ilmu yang mereka miliki, kita mungkin hanya bisa mengelus dada dan bertanya "elu sakit tong?" Dan berusaha mendamaikan dan memasukkan perspektif baru secara halus.

Namanya anak, kalau kita beri penjelasan dengan fontal bukannya direnungkan tapi justru jadi  marah dan tersinggung karena mereka "benar" menurut mereka dan bisa jadi kita jadi korban di "guyang" air dari batok bolunya atau dipecuti pakai sada lanangnya, bukannya apes di kita malah?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar